PENDAHULUAN
Perekonomian dunia memasuki era
sejarah baru dimana perekonomian berjalan cepat melalui proses “globalisasi”.
Globalisasi memberikan dampak perubahan pada pasar internasional melalui
liberalisasi perdagangan dalam meningkatkan daya saing ekonomi. Pasar
internasional dilakukan melalui perdagangan internasioanal baik multilateral dan
bilateral. Beberapa ekonom, seperti A.K. Cairncross, G. Haberler, J.R. Hicks
dan J.S. Mill juga menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh, terutama oleh
negara berkembang, dari perdagangan internasional ini (Jhingan, 2007: 447-450).
Manfaat itu antara lain terbukanya pasar dunia, meningkatkan investasi,
pendapatan dan tabungan dari alokasi sumberdaya yang lebih efisien.
Pemikiran di atas mendasari
terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Negara-negara
anggota WTO sepakat membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lainnya
dengan perjanjian yang disepakati bersama. Tujuan utama WTO adalah
mempromosikan perdagangan bebas berdasarkan tarif menggatikan pembatasan
kuantitatif negara-negara anggota.
Sebagian
besar negara-negara berkembang anggota WTO melakukan perdagangan di sektor pertanian.
Oleh karena itu, WTO memberikan perhatian khusus terhadap sektor pertanian dengan terbentuknya Agreement on Agriculture
(AoA). AoA memiliki tiga pilar utama akses pasar, dukungan domestik, dan
kompetisi ekspor (Pranolo,2000).
Tujuan dibentuk AoA adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian,
dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan
berorientasi pasar. Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen
spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan
akses pasar melalui penciptaaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif (
Departemen Pertanian, 2004)
PEMBAHASAN
Susastro (2004)
menemukan bahwa liberalisasi merupakan salah satu langkah efektif
dalam meningkatkan daya saing
nasional di pasar
global. Kondisi ini tercipta
karena liberalisasi mendorong kinerja
perekonomian menjadi lebih efisien
melalui aplikasi tehnologi baru
sebagai implementasi
liberalisasi di sektor
perdagangan dan investasi.
Liberalisasi melalui
rangkaian kerjasama bilateral, regional
maupun bilateral merupakan kondisi
yang tidak dapat dihindari lagi.
Perundingan multilateral terse-but
saat ini dikenal
dengan Doha Development Agenda
(DDA), yang telah berlangsung
sekitar 8 tahun. Namun
sayangnya, sampai saat
ini masih belum satupun
isu perundingan dapat diselesaikan.
Jika negosiasi tersebut berhasil
dirampungkan, akan terjadi liberalisasi
produk barang dan jasa yang akan dilaksanakan serempak
di seluruh dunia.
Adapun tujuan dari pelaksanaan liberalisasi tersebut adalah
penurunan proteksi domestik yang akan meningkatkan impor
produk pertanian di dunia,
termasuk Indonesia. Banyak pihak yang
khawatir liberalisasi
tersebut akan memberikan dampak buruk
bagi petani nasional.
Menurut
Apriyantono (2006), jika ditelusuri ke
belakang, pada saat
kita berbicara soal liberalisasi Perdagangan, sebenarnya upaya
global itu telah dimulai
sejak tahun 1947
dengan dirancangnya General Agreement
on Tariffs and Trade
(GATT). Negosiasi tentang perdagangan
ini memakan waktu cukup
lama, sampai delapan putaran, yang
berakhir tahun 1994. Putaran
terakhir, Putaran Uruguay, yang berlangsung dalam periode
1986-1994, ditutup di Marakesh, Moroko pada awal 1994,
kemudian dibentuk badan perdagangan dunia
yang kemudian dikenal nama World
Trade Organization (WTO).
Dalam delapan
putaran itu, dan juga
Putaran Doha sekarang ini,
pembahasan tentang liberalisasi perdagangan sangat
terfokus pada pengurangan tingkat
tariff, dan semuanya terkait
dengan akses pasar (market access). Artinya,
perdagangan internasional
telah terperangkap pada sisi
permintaan (demand side) dan
mengabaikan sisi penawaran (supply side).
Padahal, memecahkan hambatan dari
sisi penawaran sangat erat
kaitannya dengan kemampuan negara berkembang untuk dapat
meraih keuntungan dari terbukanya
akses pasar (Apriyantono, 2006).
Pentingnya sisi
penawaran dalam perdagangan internasional
telah diungkapkan oleh Rubens
Ricupero, mantan Sekjen UNCTAD,
pada suatu pertemuan Trade
and Development Board UNTAD,
di Jenewa 15
Oktober 2003 lalu. Ia
mengatakan antara lain: ”Akar masalah dari keengganan banyak
negara berkembang untuk terlibat dalam liberalisasi perdagangan, karena mereka
tidak cukup kompetitif,
disamping mereka sendiri mengandalkan
pada dua-tiga jenis komoditas
saja untuk ekspor” (Apriyantono,
2006).
Apriyantono (2006)
menyatakan banyak kendala yang
dihadapi negara-negara
berkembang, termasuk
Indonesia, dalam memperkuat
dan memanfaatkan sisi penawaran, seperti masalah
kualitas SDM, enerji, infrastruktur yang meliputi
sarana prasarana
transportasi (termasuk
pelabuhan), teknologi komunikasi dan informasi.
Aspek lainnya yang tidak
kalah penting adalah
kestabilan politik dan ekonomi.
Apabila ke dua sisi
itu tercapai, maka
hal tersebut akan memperkuat kapasitas
produksi, mengurangi ongkos produksi,
serta meningkatkan daya saing.
Selanjutnya, sisi penawaran penting
lainnya adalah membuka akses
sektor Usaha Kecil Menengah (UKM)
terhadap pendanaan
(finance), meningkatkan kuantitas dan
kualitas pelayanan buat
mereka, perbaikan manajemen dan
keahlian.
Hal tersebut
diharapkan agar mereka terkait dengan
global supply chain
(rantai pasokan global),
bukan seperti sekarang ini.
Namun, Bursfier (2001) menyatakan bahwa
hambatan per-dagangan untuk
produk pertanian dan subsidi
meningkatkan biaya bagi negara
tersebut dan mitra
dagangnya. Hambatan
perdagangan dalam bentuk tarif
akan mengurangi permintaan produk di
negara mitra, namun
disisi lain subsidi menyebabkan
kelebihan produksi domestik. Kedua
kebijakan tersebut jika terjadi
bersamaan akan menyebabkan turunnya
harga produk pertanian. Bursfier
menyatakan bahwa eliminasi distorsi perdagangan
akan meningkatkan
kesejahteraan penduduk dunia sebesar
US $ 56
miliar. Adapun instrumen yang
umum digunakan dalam hambatan
perdagangan adalah tarif. Oleh
karena itu, di
tahun 2010, negara anggota WTO
sepakat melakukan reformasi perdagangan
melalui serangkaian
kebijakan penurunan tarif dan subsidi.
Saat ini
terdapat 2 hal
teknis yang sangat penting
dalam negoisasi WTO selanjutnya.
Pertama, yakni besaran remedy
yang dapat diterapkan berikut dengan besaran rentang lonjakan. Adapun
remedy merupakan peningkatan pajak
impor untuk mengembalikan harga ke
tingkat semula. Kedua,
cara dalam menentukan besaran
trigger . Trigger merupakan batas
tertinggi peningkatan impor sebelum
dilakukan remedy .
Pendekatan yang
selama ini diusulkan dan
cukup banyak diterima adalah dengan
menggunakan Moving Average (MA), khususnya
MA 3. Beberapa pendekatan lain
yang sempat diwacanakan adalah penggunaan
MA 5, fixed reference prices
dan olympic average price
(dengan menghilangkan nilai yang
terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang
terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara
berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan menghilangkan
subsidi ekspor yang mereka
berikan. Jika perhitungan trigger
didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai
perubahan harga relatif terhadap
rata-rata harga impor tiga tahun
sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85
persen dari rata-rata
harga impor tiga tahun
sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen
dari perbedaan harga
impor dan harga trigger .
Negara berkembang
menerima perlakuan yang berbeda
mengenai perhitungan
safeguard yang disebut special and differential treatment,
dalam hal pengecualian de
minimis volume impor. Sebagai
pengguna safeguard, negara berkembang
menerima perlakuan berbeda untuk
menghargai perhitungan mereka masing-masing, misalnya dengan mengecualikan
durasi perpanjangan.
Pada konsep
pengecualian impor de minimis,
langkah safeguard tidak dapat
diterapkan untuk menekan volume ekspor dari negara berkembang;
yaitu, ketika impor
dari suatu negara berkembang kurang
dari 3% dari
total impor pada produk
yang diteliti. Dalam klausul
ini, negara berkembang
yang berada dibawah ambang
tersebut secara individu dan
secara kolektif lebih dari
9 persen dari
impor tersebut, impor tersebut
dapat dikeluarkan dari perhitungan. Dalam pemberlakuan
konsep safeguard,
negara-negara berkembang
dapat memperpanjang kebijakan safeguard selama
dua tahun ekstra dari
durasi normal yang
di ijinkan. Aturan-aturan untuk
melaksanakan safeguard nya pun diberlakukan secara fleksibel.
Misalnya periode
minimum tidak diterapkan, dalam
banyak kasus dalam satu
setengah durasi dari perhitungan normal,
jadi paling lama pemberlakukannya setidaknya
dua tahun. Namun perlakuan khusus
ini menjadi salah satu penyebab kebuntuan pembicaraan di
2008 yang dipicu oleh
ketidaksepakatan terkait dengan parameter trade
remedies dalam mekanisme special
safeguard pertanian untuk negara
berkembang. Tidak ada kesepakatan dasar
mengenai kondisi seperti apa
yang menjadi prasyarat utama penerapan
SSM. Secara spesifik, isu-isu
penting yang menjadi perhatian dan menyebabkan kebuntuan.
Seperti wilayah –
wilayah lain di dunia, Amerika Latin juga pernah mengalami krisis ekonomi.
Krisis ekonomi tersebut sungguh mengejutkan dan sangat berpengaruh di dalam
kestabilan ekonomi di Amerika Latin. Naím (1995) dalam artikelnya berkata bahwa
di surat kabar diberitakan tentang krisis ekonomi di Meksiko, surat kabar itu
berbunyi bahwa krisis mata uang di Meksiko telah meredupkan perekonomian di
seluruh Amerika Latin. Krisis dan perang perbatasan wilayah antara Ekuador dan
Peru pada Bulan Januari telah menimbulkan pertanyaan fundamental di pikiran
para investor tentang kebijakan untuk berinvestasi di Amerika Latin. Banyak
dari mereka yang akhirnya beralih dari Amerika Latin dengan alasan keuntungan
ekonomi. Hal ini tentu tidak baik untuk kemajuan perekonomian bagi Amerika
Latin.
Kemudian pertengahan
awal tahun 1990 – an, Amerika Latin menandatangani transformasi ekonomi
impresif. Kebijakan ekonomi yang baru telah menghilangkan banyak gejala
melemahkan yang telah lama melumpuhkan wilayah Amerika Latin. Walaupun begitu,
tetap ada efek buruknya yaitu inflasi, stagnasi, international creditworthiness
yang memprihatinkan, ekspor yang rendah, mata uang yang tidak stabil, serta
pemindahan modal yang kronis. Walaupun begitu, investor malah justru tertarik
dengan kebijakan ekonomi baru yang diterapkan di Amerika Latin (Naím, 1995).
Di awal tahun 1990 –
an, terjadi reformasi ekonomi di Amerika Latin yang tidak boleh diremehkan.
Liberalisasi perdagangan mendukung sejumlah perusahaan di Amerika Latin untuk
menjadi lebih efisien. Situasi pada saat itu jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan sebelumnya (Naím, 1995).
Kemudian muncul secara
spontan zona perdagangan bebas yang virtual serta perdagangan
antarnegara di Amerika Latin mulai bermunculan dan menjadi kekuatan yang paling
penting bagi pertumbuhan ekonomi. Argentina dan Chile berhasil melipatgandakan
perdagangan mereka satu sama lain dalam waktu tiga tahun. Brazil dan Argentina
pun begitu hingga Brazil menjadi mitra perdagangan terbesar bagi
Argentina. Dalam skala yang lebih besar, antarnegara di Amerika Latin
berhasil mengekspor barang satu sama lain dengan kenaikan 135 persen antara
tahun 1986 hingga 1992 (Naím, 1995). Hal ini sungguh merupakan kemajuan yang
sangat pesat bagi Amerika Latin.
Kemudian ‘ledakan’ di
Amerika Latin pada awal tahun 1990 – an bukanlah merupakan sebuah financial
bubble yang akhirnya dapat meledakkan saham investor yang terombang –
ambing menjadi kehilangan interest. Perubahan ini menimbulkan banyak
perubahan penting yang kebanyakan tidak dapat berubah. Akhirnya muncul
indikator makro ekonomi yang terbaru. Hal itu bertujuan untuk memajukan
perekonomian pada saat itu. Naím (1995) mengatakan bahwa kebutuhan untuk
memelihara kesetaraan makro ekonomi, membersihkan negara dari banyak fungsi
lebih baik dilakukan oleh sektor swasta, dan mengandalkan ekspor untuk
mendorong pertumbuhan menjadi mantra bagi kelompok sosial di seluruh wilayah
Amerika Latin.
Sebelumnya, di Amerika
Latin, terutama di Meksiko, sektor swasta lebih mendominasi ketimbang sektor
negara karena pemerintahan pada masa tersebut masih terombang – ambing dengan
ketidakjelasan struktur pemerintahannya oleh karena itu sektor swasta mengambil
alih sektor negara pada saat itu. Tetapi, setelah beberapa negara di Amerika
Latin berhasil bekerja sama, keadaan mulai membaik yang ditandai dengan mulai
banyaknya investor yang datang untuk menanamkan sahamnya di Amerika Latin
(Naím, 1995).
Walaupun begitu,
kemiskinan di Amerika Latin masih saja terjadi. 46 persen penduduk di Amerika
Latin sangat miskin. Pada tahun 1994, satu dari lima orang di suatu wilayah di
Amerika Latin tidak memiliki uang untuk memastikan pola makan harian yang
memadai. Walaupun begitu, Amerika Latin tidak hanya miskin, ia juga memiliki
pendapatan distribusi yang ganjil sejak sekitar tahun 1950 – an. Pada awal
tahun 1990 – an, kesejahteraan lebih difokuskan daripada awal tahun 1970 – an
dengan rumah tangga terkaya menerima 40 persen dari total penghasilan sedangkan
20 persen yang lain mendapatkan hanya empat persen saja (Naím, 1995).
Karena kemiskinan yang
terus – menerus terjadi di Amerika Latin, kemudian terbersit pemikiran bahwa
hal ini bukan karena kesalahan Amerika Latin sendiri, tetapi juga ada kesalahan
di luar negara – negara Amerika Latin. Akhirnya, Amerika Latin memajukan usaha
di bidang ekspornya dan free trade. Ekspor di Amerika Latin berlangsung
sangat pesat dan kompetitif. Di Singapura butuh waktu 20 menit untuk menghapus
bea cukai serta beberapa jam untuk membongkar atau memuat barang kembali,
tetapi di beberapa negara di Amerika Latin prosesnya berlangsung selama berhari
– hari atau bahkan berminggu – minggu. Bahkan Peru dan Argentina dapat menjadi
sangat kompetitif bila dibandingkan dengan sebelumnya (Naím, 1995).
Globalisasi telah membawa dampak yang begitu luas pada
negara-negara di dunia, termasuk pada Amerika Latin. Terintegrasinya ekonomi
secara global telah membuat negara harus melakukan penyesuaian struktural
terhadapnya sehingga terjadi proses transisi di dalam negara tersebut. Hal ini
juga mendorong terjadinya gejolak di dalam masing-masing negara Amerika Latin,
misalnya di Argentina pada tahun 2001 rakyatnya melakukan demo dengan
memukul-mukulkan panci dan wajan0wajan dapur di jalanan Buenos Aires sebagai
protes terhadap pemerintah (Almeida, 2007:123). Protes tersebut dilakukan
terhadap kebijakan pemerintah dalam memprivatisasi sektor publik dan struktural
akibat dari program penyesuaian, di mana privatisasi pada perusahaan minyak
negara dan perusahaan energi YPF telah mengakibatkan meningkatnya pengangguran.
Tidak hanya di Argentina, antara 2004 dan 2007, demonstrasi massa dan protes nasional
meletus di Kolombia, Ekuador, Peru, dan setiap negara di Amerika Latin terhadap
perjanjian perdagangan bebas regional dan bilateral (Almeida, 2007:124).
Pemerintah harus melakukan reformasi neoliberal, seperti pengurangan
pengeluaran publik dan menjual atau memprivatisasi aset-aset produktif
negara pada pihak-pihak swasta untuk ikut serta dalam persaingan ekonomi global
dan membayar utang pada pihak-pihak asing.
Pasca terjadinya krisis 1980an, negara-negara di Amerika
Latin lebih menguatkan peran aktor-aktor ekonomi, seperti modal domestik dan
perusahaan multinasional (Pang, 2002:15). Mereka melakukan deregulasi ekonomi
dan memperbaiki hubungan peran negara dan pasar, didukung pula oleh
liberalisasi dan deregulasi praktek perbankan dan aturan investasi di seluruh
Dunia Ketiga yang mengubah cara mereka untuk melakukan bisnis, serta melakukan
privatisasi BUMN. Intervensi negara terhadap pasar dikurangi, akibat adanya
asumsi krisis yang disebabkan oleh kegagalan negara mengontrol pasar. Di
sinilah Amerika Latin memulai hubungan dengan negara-negara utara dalam
industrialisasi. Namun rezim politik yang berjalan tidak efisien telah
menyebabkan negara-negara Amerika Latin sulit untuk menanggapi tantangan
teknologi dan ingin kelemahan struktural negara dalam kompetisi internasional
(Castells dan Laserna, 1989:537). Di sisi lain, untuk lepas dari krisis yang
melanda, integrasi ekonomi global merupakan satu-satunya jalan yang harus
ditempuh untuk melakukan restrukturisasi ekonomi.
Krisis 1980 telah menyebabkan perluasan administrasi negara
dan kontrol yuridiksi yang berfokus pada implementasi kebijakan ekonomi dan
sosial pada abad ke-20. Ini menunjukkan adanya tanggung jawab pemerintah
terhadap penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi pasca krisis. Namun
kebijakan yang diambil pemerintah, seperti penghematan pengeluaran publik
justru memunculkan protes dari kalangan masyarakat. Tahun 1940an sampai 1970an
merupakan puncak negara ikut campur dalam perekonomian dan masyarakat. Pemerintah
mendirikan perusahaan-perusahaan dan mengambil alih pengelolaan industri dan
jasa seperti minyak bumi, tambang, telekomunikasi, produksi, transportasi dan
kereta api, air dan sistem energi kanal, pabrik pengolahan pertanian, dan
perbankan (Almeida, 2007:125). Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Amerika
Latin terbiasa dengan difasilitasi oleh negara. Oleh karena itu pada saat
dikeluarkannya kebijakan memotong dan mengurangi program-program pengelolaan
pasca krisis, masyarakat merasa kehilangan sebagian hak-hak mereka sebagai
warga negara terhadap akses pelayanan sosial dan manfaat subsidi publik.
Menurut Almeida (2007) ada dua kebijakan neoliberal yang
diprotes oleh masyarakat. Pertama, kebijakan stabilitasi yang dilakukan
pemerintah pusat, yang meliputi pembekuan upah dan pemotongan dalam kesehatan
masyarakat, pendidikan masyarakat, pekerjaan sektor negara, dan subsidi untuk
barang-barang konsumsi dasar dan transportasi (Green dalam Almeida, 2007:126).
Kedua, ada privatisasi industri publik yang telah meningkat sejak tahun 1990an
dan digunakan sebagai strategi tahap kedua untuk memperdalam reformasi ekonomi.
Kedua jenis kebijakan neoliberal tingkat nasional, seperti stabilisasi dan
privatisasi sering dipromosikan oleh lembaga keuangan internasional seperti
IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Tekanan untuk melaksanakan
reformasi berorientasi pasar biasanya datang dalam bentuk kesepakatan yang
mengikat formal antara lembaga internasional dan pemerintah nasional yang
berhutang sebagai sarana membayar pinjaman masa lalu atau mengamankan baris
baru kredit (Almeida, 2007:127). Liberalisasi ekonomi semakin didukung oleh
perjanjian perdagangan bebas bilateral dan multilateral seperti Free Trade
Area of the Americas atau FTAA, Mercosur, the North American Free
Trade Agreement atau NAFTA, the Central American Free Trade Agreement
atau CAFTA, dan program integrasi infrastruktur Rencana Puebla-Panama atau PPP.
Hal di atas menyebabkan munculnya mobilisasi kekuatan sosial
dan munculnya gerakan-gerakan untuk melindungi kelompok-kelompok yang terancam
dari proses transisi tersebut. Protes terhadap langkah-langkah penghematan
ekonomi di Amerika Latin dapat terjadi pada akhir 1970an dan awal 1980an,
ketika protes besar-besaran dan kerusuhan meledak di sejumlah negara, misalnya
Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Kosta Rika, dan Peru dan di Karibia,
misalnya Jamaika (Walton dalam Almeida, 2007:127). 40% dari kampanye protes
melibatkan lebih dari satu sektor sosial, menunjukkan bahwa demokratisasi dapat
memfasilitasi hubungan antara kolektivitas yang berbeda. Kelompok kelas
pekerja, misalnya serikat buruh, adalah pelaku utama yang berpartisipasi dalam
56% dari protes. Mayoritas pekerja berasal dari sektor perkotaan dan
pertambangan. Angka-angka ini memberikan pandangan bahwa kelas pekerja adalah
sektor yang paling terancam oleh kebijakan penghematan tersebut. Sektor sosial
penting lainnya termasuk karyawan sektor publik, misalnya pekerja kesehatan,
pekerja Security Institute Sosial, dan karyawan sistem pensiun, serta
mahasiswa, petani, dan guru juga ikut melakukan protes. Sasaran utama dari
protes nasional adalah pada pemerintah daerah atau lembaga internasional
(Almeida, 2007:129). Seiring waktu, gerakan rakyat semakin diakui lembaga
internasional dan badan-badan perdagangan regional yang bertanggung jawab atas
program penyesuaian ekonomi mereka yang dipandang kurang baik, tetapi negara
tetap penerima utama tuntutan protes dan klaim tersebut.
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa
kebijakan yang diputuskan tanpa masukan dari rakyat dan tanpa melihat kondisi
rakyat akan dapat menimbulkan gelombang penolakan dalam rakyat itu sendiri. Hal
ini seharusnya diberlakukan secara perlahan, misalnya dengan memprivatisasi
satu atau dua perusahaan negara terlebih dahulu kemudian diikuti privatisasi
perusahaan negara lainnya. Namun hal tersebut menjadi sulit diimplementasikan
karena kondisi Amerika Latin yang sangat mendesak untuk segera melakukan
restrukturisasi ekonomi mengikuti liberalisme ekonomi yang semakin menyebar
luas. Menurut penulis, dalam menghadapi integrasi ekonomi secara global, negara
memang sangat membutuhkan infrastruktur yang baik agar tidak seutuhnya terseret
ke dalam pengaruh globalisasi tersebut. Di sisi lain, intervensi negara
terhadap pasar juga masih merupakan hal penting, mengacu pada teori Keynes. Hal
ini terbukti dalam keberhasilan Malaysia yang mampu mengatur kebijakan dalam
negaranya tanpa bantuan IMF pasca krisis Asia 1997.
Bahwa akhirnya hal
tersebut perlahan – lahan dapat memajukan perekonomian di Amerika Latin. Bahkan
dapat memperbaiki keadaan di sana, mulai dari menurunnya angka kemiskinan di
Amerika Latin, permasalahan pendidikan, hingga permasalahan sosial. Amerika
Latin kini mulai menjadi salah satu wilayah yang kuat di bidang ekspornya.
Banyak wilayah – wilayah lain yang tertarik, seperti Asia dan bahkan Amerika
Serikat. Dapat dilihat bahwa Amerika Latin dapat mengatasi permasalahan krisis
ekonominya dengan cara memajukan ekspornya sehingga perlahan – lahan keadaan
ekonomi di Amerika Latin mulai membaik.
DAFTAR
PUSTAKA
Almeida, Paul D. 2007. “Defensive
Mobilization: Popular Movements Against Economic Adjustment Policies in Latin
America”, dalam Latin American Perspectives, vol. 32, no. 3, pp.
123-139.
Castells, Manuel dan Laserna, Roberto.
1989. “The New Dependency: Technological Change and Socioeconomic Restructuring
in Latin America”, dalam Sociological Forum, Vol. 4, No. 4, Special
Issue: Comparative National Development:Theory and Facts for the 1990s, pp.
535-560. Published by: Springer.
Pang, Eul-Soo. 2002. The IPE of
Transformation in Argentina, Brazil, and Chile since 1960. New York:
Palgrave Macmillan. 1-20.
Jackson, Robert,
dan Georg Sorensen, 2005.
Pengantar Studi
Hubungan
Internasional
(terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saliem, Handewi
et al., 2004. Dampak
Liberalisasi Perdagangan terhadap
Kinerja Ketahanan
Pangan Nasional Bogor:
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian Departemen Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar