Selasa, Desember 22, 2015

DAMPAK REFORMASI PERDAGANGAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN



PENDAHULUAN

Perekonomian dunia memasuki era sejarah baru dimana perekonomian berjalan cepat melalui proses “globalisasi”. Globalisasi memberikan dampak perubahan pada pasar internasional melalui liberalisasi perdagangan dalam meningkatkan daya saing ekonomi. Pasar internasional dilakukan melalui perdagangan internasioanal baik multilateral dan bilateral. Beberapa ekonom, seperti A.K. Cairncross, G. Haberler, J.R. Hicks dan J.S. Mill juga menyatakan beberapa manfaat yang diperoleh, terutama oleh negara berkembang, dari perdagangan internasional ini (Jhingan, 2007: 447-450). Manfaat itu antara lain terbukanya pasar dunia, meningkatkan investasi, pendapatan dan tabungan dari alokasi sumberdaya yang lebih efisien.

Pemikiran di atas mendasari terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Negara-negara anggota WTO sepakat membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lainnya dengan perjanjian yang disepakati bersama. Tujuan utama WTO adalah mempromosikan perdagangan bebas berdasarkan tarif menggatikan pembatasan kuantitatif negara-negara anggota.
Sebagian besar negara-negara berkembang anggota WTO melakukan perdagangan di sektor pertanian. Oleh karena itu, WTO memberikan perhatian khusus terhadap sektor pertanian dengan terbentuknya Agreement on Agriculture (AoA). AoA memiliki tiga pilar utama  akses pasar, dukungan domestik, dan kompetisi ekspor (Pranolo,2000). Tujuan dibentuk AoA adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian, dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi  pasar. Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif ( Departemen Pertanian, 2004)

PEMBAHASAN

Susastro  (2004)  menemukan bahwa liberalisasi merupakan salah satu langkah  efektif  dalam  meningkatkan daya  saing  nasional  di  pasar  global. Kondisi  ini  tercipta  karena  liberalisasi mendorong  kinerja  perekonomian menjadi  lebih  efisien  melalui  aplikasi tehnologi  baru  sebagai  implementasi liberalisasi  di  sektor  perdagangan  dan investasi.
Liberalisasi melalui rangkaian kerjasama  bilateral,  regional  maupun bilateral  merupakan  kondisi  yang  tidak dapat dihindari lagi. Perundingan  multilateral  terse-but  saat  ini  dikenal  dengan  Doha Development  Agenda  (DDA),  yang telah  berlangsung  sekitar  8  tahun. Namun  sayangnya,  sampai  saat  ini masih  belum  satupun  isu  perundingan dapat  diselesaikan.  Jika  negosiasi tersebut  berhasil  dirampungkan,  akan terjadi  liberalisasi  produk  barang  dan jasa yang akan dilaksanakan serempak di  seluruh  dunia.  Adapun  tujuan  dari pelaksanaan liberalisasi tersebut adalah penurunan proteksi domestik yang akan meningkatkan  impor  produk  pertanian di dunia, termasuk Indonesia. Banyak  pihak  yang  khawatir liberalisasi  tersebut  akan  memberikan dampak  buruk  bagi  petani  nasional.
Menurut Apriyantono  (2006),  jika ditelusuri  ke  belakang,  pada  saat  kita berbicara soal liberalisasi Perdagangan, sebenarnya  upaya  global  itu  telah dimulai  sejak  tahun  1947  dengan dirancangnya  General  Agreement  on Tariffs  and  Trade  (GATT).  Negosiasi tentang  perdagangan  ini  memakan waktu  cukup  lama,  sampai  delapan putaran,  yang  berakhir  tahun  1994. Putaran  terakhir,  Putaran  Uruguay, yang berlangsung dalam periode 1986-1994, ditutup di Marakesh, Moroko pada awal  1994,  kemudian  dibentuk  badan perdagangan  dunia  yang  kemudian dikenal nama World Trade Organization (WTO).
Dalam  delapan  putaran  itu, dan  juga  Putaran  Doha  sekarang ini,  pembahasan  tentang  liberalisasi perdagangan  sangat  terfokus  pada pengurangan  tingkat  tariff,  dan semuanya  terkait  dengan  akses  pasar (market access).  Artinya,  perdagangan internasional  telah  terperangkap pada  sisi  permintaan  (demand  side) dan  mengabaikan  sisi  penawaran (supply  side).  Padahal,  memecahkan hambatan  dari  sisi  penawaran  sangat erat  kaitannya  dengan  kemampuan negara berkembang untuk dapat meraih keuntungan  dari  terbukanya  akses pasar (Apriyantono, 2006).
Pentingnya  sisi  penawaran dalam  perdagangan  internasional  telah diungkapkan  oleh  Rubens  Ricupero, mantan  Sekjen  UNCTAD,  pada  suatu pertemuan  Trade  and  Development Board  UNTAD,  di  Jenewa  15  Oktober 2003  lalu.  Ia  mengatakan  antara  lain: ”Akar masalah dari keengganan banyak negara berkembang untuk terlibat dalam liberalisasi perdagangan, karena mereka tidak  cukup  kompetitif,  disamping mereka  sendiri  mengandalkan  pada dua-tiga  jenis  komoditas  saja  untuk ekspor” (Apriyantono, 2006).
Apriyantono  (2006)  menyatakan banyak  kendala  yang  dihadapi negara-negara  berkembang,  termasuk Indonesia,  dalam  memperkuat  dan memanfaatkan  sisi  penawaran, seperti  masalah  kualitas  SDM,  enerji, infrastruktur yang  meliputi  sarana prasarana  transportasi  (termasuk pelabuhan),  teknologi  komunikasi dan  informasi.  Aspek  lainnya  yang tidak  kalah  penting  adalah  kestabilan politik  dan  ekonomi.  Apabila  ke  dua sisi  itu  tercapai,  maka  hal  tersebut akan memperkuat  kapasitas  produksi, mengurangi  ongkos  produksi,  serta meningkatkan  daya  saing.  Selanjutnya, sisi  penawaran  penting  lainnya  adalah membuka  akses  sektor  Usaha  Kecil Menengah  (UKM)  terhadap  pendanaan (finance),  meningkatkan  kuantitas dan  kualitas  pelayanan  buat  mereka, perbaikan  manajemen  dan  keahlian.
Hal  tersebut  diharapkan  agar  mereka terkait  dengan  global  supply  chain  (rantai  pasokan  global),  bukan  seperti sekarang ini. Namun,  Bursfier  (2001) menyatakan  bahwa  hambatan  per-dagangan  untuk  produk  pertanian dan  subsidi  meningkatkan  biaya  bagi negara  tersebut  dan  mitra  dagangnya. Hambatan  perdagangan  dalam  bentuk tarif  akan  mengurangi  permintaan produk  di  negara  mitra,  namun  disisi lain  subsidi  menyebabkan  kelebihan produksi  domestik.  Kedua  kebijakan tersebut  jika  terjadi  bersamaan  akan menyebabkan  turunnya  harga  produk pertanian. Bursfier menyatakan bahwa eliminasi  distorsi  perdagangan  akan meningkatkan  kesejahteraan  penduduk dunia  sebesar  US  $  56  miliar.  Adapun instrumen yang umum digunakan dalam hambatan  perdagangan  adalah  tarif. Oleh  karena  itu,  di  tahun  2010,  negara anggota  WTO  sepakat  melakukan reformasi  perdagangan  melalui serangkaian  kebijakan  penurunan  tarif dan subsidi.
Saat  ini  terdapat  2  hal  teknis yang  sangat  penting  dalam  negoisasi WTO  selanjutnya.  Pertama,  yakni besaran  remedy  yang dapat diterapkan berikut dengan besaran rentang lonjakan. Adapun remedy merupakan peningkatan pajak  impor  untuk  mengembalikan harga  ke  tingkat  semula.  Kedua,  cara dalam  menentukan  besaran  trigger . Trigger  merupakan  batas  tertinggi peningkatan  impor  sebelum  dilakukan remedy . 
Pendekatan  yang  selama  ini diusulkan  dan  cukup  banyak  diterima adalah  dengan  menggunakan Moving Average   (MA),  khususnya  MA  3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan  adalah  penggunaan  MA 5, fixed reference prices  dan  olympic average  price  (dengan  menghilangkan nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini  yang  terus  menerus  dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan  menghilangkan  subsidi  ekspor yang mereka berikan. Jika  perhitungan  trigger  didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai perubahan harga  relatif  terhadap  rata-rata  harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar  85  persen  dari  rata-rata  harga impor  tiga  tahun  sebelumnya.  Besaran remedy  yang diterapkan adalah sebesar 85  persen  dari  perbedaan  harga  impor dan harga  trigger .
Negara  berkembang  menerima perlakuan  yang  berbeda  mengenai perhitungan  safeguard  yang  disebut special and differential treatment, dalam hal  pengecualian  de  minimis  volume impor.  Sebagai  pengguna  safeguard, negara  berkembang  menerima perlakuan  berbeda  untuk  menghargai perhitungan  mereka  masing-masing, misalnya dengan mengecualikan durasi perpanjangan.
Pada  konsep  pengecualian impor  de  minimis,  langkah  safeguard tidak  dapat  diterapkan  untuk  menekan volume ekspor dari negara berkembang; yaitu,  ketika  impor  dari  suatu  negara berkembang  kurang  dari  3%  dari  total impor  pada  produk  yang  diteliti.  Dalam klausul  ini,  negara  berkembang  yang berada  dibawah  ambang  tersebut secara  individu  dan  secara  kolektif lebih  dari  9  persen  dari  impor  tersebut, impor  tersebut  dapat  dikeluarkan  dari perhitungan. Dalam  pemberlakuan  konsep safeguard,  negara-negara  berkembang dapat  memperpanjang  kebijakan safeguard  selama  dua  tahun  ekstra dari  durasi  normal  yang  di  ijinkan. Aturan-aturan  untuk  melaksanakan safeguard nya pun diberlakukan secara fleksibel. 
Misalnya  periode  minimum tidak  diterapkan,  dalam  banyak  kasus dalam  satu  setengah  durasi  dari perhitungan  normal,  jadi  paling  lama pemberlakukannya  setidaknya  dua tahun. Namun  perlakuan  khusus  ini menjadi salah satu penyebab kebuntuan pembicaraan  di  2008  yang  dipicu oleh  ketidaksepakatan  terkait  dengan parameter  trade  remedies   dalam mekanisme special safeguard  pertanian untuk  negara  berkembang.  Tidak  ada kesepakatan  dasar  mengenai  kondisi seperti  apa  yang  menjadi  prasyarat utama  penerapan  SSM.  Secara spesifik, isu-isu penting yang menjadi perhatian dan menyebabkan kebuntuan.
Seperti wilayah – wilayah lain di dunia, Amerika Latin juga pernah mengalami krisis ekonomi. Krisis ekonomi tersebut sungguh mengejutkan dan sangat berpengaruh di dalam kestabilan ekonomi di Amerika Latin. Naím (1995) dalam artikelnya berkata bahwa di surat kabar diberitakan tentang krisis ekonomi di Meksiko, surat kabar itu berbunyi bahwa krisis mata uang di Meksiko telah meredupkan perekonomian di seluruh Amerika Latin. Krisis dan perang perbatasan wilayah antara Ekuador dan Peru pada Bulan Januari telah menimbulkan pertanyaan fundamental di pikiran para investor tentang kebijakan untuk berinvestasi di Amerika Latin. Banyak dari mereka yang akhirnya beralih dari Amerika Latin dengan alasan keuntungan ekonomi. Hal ini tentu tidak baik untuk kemajuan perekonomian bagi Amerika Latin.
 Kemudian pertengahan awal tahun 1990 – an, Amerika Latin menandatangani transformasi ekonomi impresif. Kebijakan ekonomi yang baru telah menghilangkan banyak gejala melemahkan yang telah lama melumpuhkan wilayah Amerika Latin. Walaupun begitu, tetap ada efek buruknya yaitu inflasi, stagnasi, international creditworthiness yang memprihatinkan, ekspor yang rendah, mata uang yang tidak stabil, serta pemindahan modal yang kronis. Walaupun begitu, investor malah justru tertarik dengan kebijakan ekonomi baru yang diterapkan di Amerika Latin (Naím, 1995).
 Di awal tahun 1990 – an, terjadi reformasi ekonomi di Amerika Latin yang tidak boleh diremehkan. Liberalisasi perdagangan mendukung sejumlah perusahaan di Amerika Latin untuk menjadi lebih efisien. Situasi pada saat itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sebelumnya (Naím, 1995).
 Kemudian muncul secara spontan zona perdagangan bebas yang virtual serta perdagangan antarnegara di Amerika Latin mulai bermunculan dan menjadi kekuatan yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Argentina dan Chile berhasil melipatgandakan perdagangan mereka satu sama lain dalam waktu tiga tahun. Brazil dan Argentina pun begitu hingga Brazil menjadi mitra perdagangan terbesar bagi Argentina.  Dalam skala yang lebih besar, antarnegara di Amerika Latin berhasil mengekspor barang satu sama lain dengan kenaikan 135 persen antara tahun 1986 hingga 1992 (Naím, 1995). Hal ini sungguh merupakan kemajuan yang sangat pesat bagi Amerika Latin.
 Kemudian ‘ledakan’ di Amerika Latin pada awal tahun 1990 – an bukanlah merupakan sebuah financial bubble yang akhirnya dapat meledakkan saham investor yang terombang – ambing menjadi kehilangan interest. Perubahan ini menimbulkan banyak perubahan penting yang kebanyakan tidak dapat berubah. Akhirnya muncul indikator makro ekonomi yang terbaru. Hal itu bertujuan untuk memajukan perekonomian pada saat itu. Naím (1995) mengatakan bahwa kebutuhan untuk memelihara kesetaraan makro ekonomi, membersihkan negara dari banyak fungsi lebih baik dilakukan oleh sektor swasta, dan mengandalkan ekspor untuk mendorong pertumbuhan menjadi mantra bagi kelompok sosial di seluruh wilayah Amerika Latin.
 Sebelumnya, di Amerika Latin, terutama di Meksiko, sektor swasta lebih mendominasi ketimbang sektor negara karena pemerintahan pada masa tersebut masih terombang – ambing dengan ketidakjelasan struktur pemerintahannya oleh karena itu sektor swasta mengambil alih sektor negara pada saat itu. Tetapi, setelah beberapa negara di Amerika Latin berhasil bekerja sama, keadaan mulai membaik yang ditandai dengan mulai banyaknya investor yang datang untuk menanamkan sahamnya di Amerika Latin (Naím, 1995).
 Walaupun begitu, kemiskinan di Amerika Latin masih saja terjadi. 46 persen penduduk di Amerika Latin sangat miskin. Pada tahun 1994, satu dari lima orang di suatu wilayah di Amerika Latin tidak memiliki uang untuk memastikan pola makan harian yang memadai. Walaupun begitu, Amerika Latin tidak hanya miskin, ia juga memiliki pendapatan distribusi yang ganjil sejak sekitar tahun 1950 – an. Pada awal tahun 1990 – an, kesejahteraan lebih difokuskan daripada awal tahun 1970 – an dengan rumah tangga terkaya menerima 40 persen dari total penghasilan sedangkan 20 persen yang lain mendapatkan hanya empat persen saja (Naím, 1995).
 Karena kemiskinan yang terus – menerus terjadi di Amerika Latin, kemudian terbersit pemikiran bahwa hal ini bukan karena kesalahan Amerika Latin sendiri, tetapi juga ada kesalahan di luar negara – negara Amerika Latin. Akhirnya, Amerika Latin memajukan usaha di bidang ekspornya dan free trade. Ekspor di Amerika Latin berlangsung sangat pesat dan kompetitif. Di Singapura butuh waktu 20 menit untuk menghapus bea cukai serta beberapa jam untuk membongkar atau memuat barang kembali, tetapi di beberapa negara di Amerika Latin prosesnya berlangsung selama berhari – hari atau bahkan berminggu – minggu. Bahkan Peru dan Argentina dapat menjadi sangat kompetitif bila dibandingkan dengan sebelumnya (Naím, 1995).
Globalisasi telah membawa dampak yang begitu luas pada negara-negara di dunia, termasuk pada Amerika Latin. Terintegrasinya ekonomi secara global telah membuat negara harus melakukan penyesuaian struktural terhadapnya sehingga terjadi proses transisi di dalam negara tersebut. Hal ini juga mendorong terjadinya gejolak di dalam masing-masing negara Amerika Latin, misalnya di Argentina pada tahun 2001 rakyatnya melakukan demo dengan memukul-mukulkan panci dan wajan0wajan dapur di jalanan Buenos Aires sebagai protes terhadap pemerintah (Almeida, 2007:123). Protes tersebut dilakukan terhadap kebijakan pemerintah dalam memprivatisasi sektor publik dan struktural akibat dari program penyesuaian, di mana privatisasi pada perusahaan minyak negara dan perusahaan energi YPF telah mengakibatkan meningkatnya pengangguran. Tidak hanya di Argentina, antara 2004 dan 2007, demonstrasi massa dan protes nasional meletus di Kolombia, Ekuador, Peru, dan setiap negara di Amerika Latin terhadap perjanjian perdagangan bebas regional dan bilateral (Almeida, 2007:124). Pemerintah harus melakukan reformasi neoliberal, seperti pengurangan pengeluaran publik  dan menjual atau memprivatisasi aset-aset produktif negara pada pihak-pihak swasta untuk ikut serta dalam persaingan ekonomi global dan membayar utang pada pihak-pihak asing.
Pasca terjadinya krisis 1980an, negara-negara di Amerika Latin lebih menguatkan peran aktor-aktor ekonomi, seperti modal domestik dan perusahaan multinasional (Pang, 2002:15). Mereka melakukan deregulasi ekonomi dan memperbaiki hubungan peran negara dan pasar, didukung pula oleh liberalisasi dan deregulasi praktek perbankan dan aturan investasi di seluruh Dunia Ketiga yang mengubah cara mereka untuk melakukan bisnis, serta melakukan privatisasi BUMN. Intervensi negara terhadap pasar dikurangi, akibat adanya asumsi krisis yang disebabkan oleh kegagalan negara mengontrol pasar. Di sinilah Amerika Latin memulai hubungan dengan negara-negara utara dalam industrialisasi. Namun rezim politik yang berjalan tidak efisien telah menyebabkan negara-negara Amerika Latin sulit untuk menanggapi tantangan teknologi dan ingin kelemahan struktural negara dalam kompetisi internasional (Castells dan Laserna, 1989:537). Di sisi lain, untuk lepas dari krisis yang melanda, integrasi ekonomi global merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk melakukan restrukturisasi ekonomi.
Krisis 1980 telah menyebabkan perluasan administrasi negara dan kontrol yuridiksi yang berfokus pada implementasi kebijakan ekonomi dan sosial pada abad ke-20. Ini menunjukkan adanya tanggung jawab pemerintah terhadap penyesuaian struktural dan reformasi ekonomi pasca krisis. Namun kebijakan yang diambil pemerintah, seperti penghematan pengeluaran publik justru memunculkan protes dari kalangan masyarakat. Tahun 1940an sampai 1970an merupakan puncak negara ikut campur dalam perekonomian dan masyarakat. Pemerintah mendirikan perusahaan-perusahaan dan mengambil alih pengelolaan industri dan jasa seperti minyak bumi, tambang, telekomunikasi, produksi, transportasi dan kereta api, air dan sistem energi kanal, pabrik pengolahan pertanian, dan perbankan (Almeida, 2007:125). Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Amerika Latin terbiasa dengan difasilitasi oleh negara. Oleh karena itu pada saat dikeluarkannya kebijakan memotong dan mengurangi program-program pengelolaan pasca krisis, masyarakat merasa kehilangan sebagian hak-hak mereka sebagai warga negara terhadap akses pelayanan sosial dan manfaat subsidi publik.
Menurut Almeida (2007) ada dua kebijakan neoliberal yang diprotes oleh masyarakat. Pertama, kebijakan stabilitasi yang dilakukan pemerintah pusat, yang meliputi pembekuan upah dan pemotongan dalam kesehatan masyarakat, pendidikan masyarakat, pekerjaan sektor negara, dan subsidi untuk barang-barang konsumsi dasar dan transportasi (Green dalam Almeida, 2007:126). Kedua, ada privatisasi industri publik yang telah meningkat sejak tahun 1990an dan digunakan sebagai strategi tahap kedua untuk memperdalam reformasi ekonomi. Kedua jenis kebijakan neoliberal tingkat nasional, seperti stabilisasi dan privatisasi sering dipromosikan oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Tekanan untuk melaksanakan reformasi berorientasi pasar biasanya datang dalam bentuk kesepakatan yang mengikat formal antara lembaga internasional dan pemerintah nasional yang berhutang sebagai sarana membayar pinjaman masa lalu atau mengamankan baris baru kredit (Almeida, 2007:127). Liberalisasi ekonomi semakin didukung oleh perjanjian perdagangan bebas bilateral dan multilateral seperti Free Trade Area of the Americas atau FTAA, Mercosur, the North American Free Trade Agreement atau NAFTA, the Central American Free Trade Agreement atau CAFTA, dan program integrasi infrastruktur Rencana Puebla-Panama atau PPP.
Hal di atas menyebabkan munculnya mobilisasi kekuatan sosial dan munculnya gerakan-gerakan untuk melindungi kelompok-kelompok yang terancam dari proses transisi tersebut. Protes terhadap langkah-langkah penghematan ekonomi di Amerika Latin dapat terjadi pada akhir 1970an dan awal 1980an, ketika protes besar-besaran dan kerusuhan meledak di sejumlah negara, misalnya Argentina, Brasil, Bolivia, Chili, Kosta Rika, dan Peru dan di Karibia, misalnya Jamaika (Walton dalam Almeida, 2007:127). 40% dari kampanye protes melibatkan lebih dari satu sektor sosial, menunjukkan bahwa demokratisasi dapat memfasilitasi hubungan antara kolektivitas yang berbeda. Kelompok kelas pekerja, misalnya serikat buruh, adalah pelaku utama yang berpartisipasi dalam 56% dari protes. Mayoritas pekerja berasal dari sektor perkotaan dan pertambangan. Angka-angka ini memberikan pandangan bahwa kelas pekerja adalah sektor yang paling terancam oleh kebijakan penghematan tersebut. Sektor sosial penting lainnya termasuk karyawan sektor publik, misalnya pekerja kesehatan, pekerja Security Institute Sosial, dan karyawan sistem pensiun, serta mahasiswa, petani, dan guru juga ikut melakukan protes. Sasaran utama dari protes nasional adalah pada pemerintah daerah atau lembaga internasional (Almeida, 2007:129).  Seiring waktu, gerakan rakyat semakin diakui lembaga internasional dan badan-badan perdagangan regional yang bertanggung jawab atas program penyesuaian ekonomi mereka yang dipandang kurang baik, tetapi negara tetap penerima utama tuntutan protes dan klaim tersebut.


PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diputuskan tanpa masukan dari rakyat dan tanpa melihat kondisi rakyat akan dapat menimbulkan gelombang penolakan dalam rakyat itu sendiri. Hal ini seharusnya diberlakukan secara perlahan, misalnya dengan memprivatisasi satu atau dua perusahaan negara terlebih dahulu kemudian diikuti privatisasi perusahaan negara lainnya. Namun hal tersebut menjadi sulit diimplementasikan karena kondisi Amerika Latin yang sangat mendesak untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi mengikuti liberalisme ekonomi yang semakin menyebar luas. Menurut penulis, dalam menghadapi integrasi ekonomi secara global, negara memang sangat membutuhkan infrastruktur yang baik agar tidak seutuhnya terseret ke dalam pengaruh globalisasi tersebut. Di sisi lain, intervensi negara terhadap pasar juga masih merupakan hal penting, mengacu pada teori Keynes. Hal ini terbukti dalam keberhasilan Malaysia yang mampu mengatur kebijakan dalam negaranya tanpa bantuan IMF pasca krisis Asia 1997.
Bahwa akhirnya hal tersebut perlahan – lahan dapat memajukan perekonomian di Amerika Latin. Bahkan dapat memperbaiki keadaan di sana, mulai dari menurunnya angka kemiskinan di Amerika Latin, permasalahan pendidikan, hingga permasalahan sosial. Amerika Latin kini mulai menjadi salah satu wilayah yang kuat di bidang ekspornya. Banyak wilayah – wilayah lain yang tertarik, seperti Asia dan bahkan Amerika Serikat. Dapat dilihat bahwa Amerika Latin dapat mengatasi permasalahan krisis ekonominya dengan cara memajukan ekspornya sehingga perlahan – lahan keadaan ekonomi di Amerika Latin mulai membaik.             

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, Paul D. 2007. “Defensive Mobilization: Popular Movements Against Economic Adjustment Policies in Latin America”, dalam Latin American Perspectives, vol. 32, no. 3, pp. 123-139.
Castells, Manuel dan Laserna, Roberto. 1989. “The New Dependency: Technological Change and Socioeconomic Restructuring in Latin America”, dalam Sociological Forum, Vol. 4, No. 4, Special Issue: Comparative National Development:Theory and Facts for the 1990s, pp. 535-560. Published by: Springer.
Pang, Eul-Soo. 2002. The IPE of Transformation in Argentina, Brazil, and Chile since 1960. New York: Palgrave Macmillan. 1-20.
Jackson,  Robert,  dan  Georg Sorensen,  2005.  Pengantar  Studi  Hubungan
Internasional (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Saliem,  Handewi  et  al.,  2004.  Dampak  Liberalisasi  Perdagangan  terhadap
Kinerja  Ketahanan  Pangan  Nasional  Bogor:  Pusat  Penelitian  dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar